Oleh: Abdullah Hehamahua
JBNBogor – Kalangan tertentu di Indonesia sering mengumandangkan jargon, “NKRI harga mati.” Jargon tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa mereka paling Indonesia. Padahal, penggagas ide NKRI adalah Partai Masyumi.
Sebab, Ketua Umumnya, M. Natsir, dalam sidang parlemen pada 3 April 1950, menyampaikan pidato yang fenomenal, “Mosi Integral,” yang mengusulkan Indonesia berpindah dari bentuk federasi menjadi NKRI. Parlemen menyetujui usul M. Natsir tersebut. Oleh karena itu, Soekarno, dalam pidato 17 Agustus 1950, mengumumkan bahwa Indonesia menjadi NKRI. Itulah sebabnya, M. Natsir ditunjuk sebagai Perdana Menteri pertama NKRI. Namun, Masyumi tidak pernah mengklaim bahwa NKRI adalah miliknya.
Fenomena lain, mereka yang mengklaim paling Pancasilais justru melanggar hampir seluruh sila-sila dari dasar negara tersebut. Tragisnya, mereka yang menepuk dada, merasa paling nasionalis dan super Indonesia, justru berkolaborasi dengan asing, aseng, dan oligarki. Merekalah yang paling banyak terlibat korupsi, baik di sektor eksekutif, legislatif, yudikatif, BUMN/BUMD, maupun perusahaan swasta. Lebih jahatnya, mereka memanfaatkan kekuasaan, Aparat Penegak Hukum (APH), dan oligarki dalam menangkap, memenjarakan, bahkan membunuh para pihak yang dianggap tidak sekufu.
Penulis, berdasarkan fenomena di atas, dalam beberapa seri mendatang akan mengkomunikasikan dan mendialogkan siapa yang paling Indonesia: Anda, aku, atau kita? Konsekuensi logisnya, seri pertama yang dikomunikasikan sekarang berkaitan dengan nama atau sebutan ‘INDONESIA’ itu sendiri.
Nama “Indonesia” sejatinya berasal dari dua perkataan Yunani Kuno, Indos dan Nesos. Indos berarti India, sedangkan Nesos berarti kepulauan. Maknanya, secara etimologi, Indonesia berarti kepulauan India. Apa hubungan antara Indonesia dan India? Tidak ada. Sebab, nama “Indonesia” pertama kali muncul di Singapura melalui majalah ilmiah tahunan Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA).
Penemu nama tersebut adalah dua warga Inggris, James Richardson Logan dan George Samuel Windsor. Mereka berdua waktu itu berpikir bahwa nama Indonesia—Hindia Belanda—bersamaan sebutannya dengan negara India. Oleh karena itu, Erl mengusulkan dua nama, yakni Indunesia dan Melayunesia.
Erl sendiri memilih nama Melayunesia, sedangkan Logan memilih nama Indunesia. Namun, Logan kemudian mengganti huruf “u” dengan “o” sehingga jadilah perkataan Indonesia. Nama Indonesia tersebut lalu dipopulerkan oleh etnolog Jerman, Adolf Bastian, pada tahun 1884 melalui kitabnya Indonesien Oder Die Insein Des Malayischen Archipels (Indonesia atau Pulau-Pulau di Kepulauan Melayu).
Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai jurnalis dengan artikel-artikel yang keras dan pedas terhadap penjajah Barat. Dampaknya, beliau ditangkap dan dibuang ke Belanda bersama keluarganya.
Seperti anggota Muhammadiyah lainnya, Ki Hajar Dewantara menerapkan moto K.H. Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Oleh karena itu, untuk membiayai keluarganya, Ki Hajar Dewantara mendirikan Kantor Berita Indonesia pada tahun 1913 di Den Haag. Inilah kantor berita pertama di Belanda yang diberi nama Indonesische Pers-bureau (IP), yang bermakna “Kantor Berita Indonesia.”
Muhammad Hatta, mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam, Belanda, saat itu meneladani sikap Ki Hajar Dewantara. Ketika menjadi Ketua Indische Vereeniging (1922), Bung Hatta mengubah nama organisasi tersebut menjadi Indonische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia. Jadi, Anda, saya, dan kita semua sepakat bahwa nama Indonesia memang berasal dari orang Barat, tetapi dibakukan oleh bangsa Indonesia sebagai nama resmi negeri ini.
Para pemuda Indonesia, sejak 30 April sampai 2 Mei 1926, mengadakan Kongres Pemuda I di Lapangan Banteng, Jakarta. Kongres ini membahas ide, gagasan, dan strategi untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajah. Kongres juga menyepakati bahasa Melayu sebagai dasar yang akan diperkaya dengan bahasa daerah lain untuk menjadi Bahasa Indonesia.
Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), pada tanggal 27–28 Oktober 1928, mengadakan Kongres Pemuda II. PPPI adalah persatuan pelajar seluruh Indonesia yang terbentuk pada bulan September 1926. Pada tanggal 28 Oktober yang kemudian dikenal sebagai Hari Sumpah Pemuda, semua peserta kongres berikrar dengan mengucapkan tiga butir pernyataan sakral sebagai berikut:
1. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
2. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
3. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Simpulannya, Anda, aku, dan kita semua adalah warga negara Indonesia. Sebab, kita lahir di Indonesia, bekerja, makan, minum, berkeluarga, dan meninggal di sini. Setuju, inilah negara kita: INDONESIA. Jangan lagi Anda, aku, dan kita semua menggadaikan tumpah darah, bangsa, dan bahasa persatuan ke asing, aseng, dan oligarki. Semoga!!! (Bersambung) (Depok, 25 Desember 2024).
Editor: Ahdhia Putri Insyira