Jakarta|JBN – Dirasa tak adil dalam memimpin sidang, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bekasi, yang menangani perkara No : 564/Pdt.G/2020/PN.Bekasi, dilaporkan ke Ketua Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung Republik Indonesia, Komisi Yudisial (KY), dan Ketua Mahkamah Agung (MA), karena patut diduga telah melakukan pelanggaran kode etik.
Sang pelapor ialah, Tim Kuasa Hukum dari Penggugat dalam Perkara Gugatan Cerai di Pengadilan Negeri Bekasi Kelas 1A Khusus perkara nomor: 564/Pdt.G/2020/PN.Bekasi, sebagaimana surat kuasa khusus yang diberikan ‘JS’ kepada LAW OFFICE RAJA TAHAN PANJAITAN, SH & PARTNERS beralamat di Jalan Paus Kav. B-I No.90 Rawamangun, Pulogadung, Jakarta Timur tertanggal 17 September 2020.
Ini penjelasan Tim Kuasa Hukum, bahwa Majelis Hakim perkara nomor: 564/Pdt.G/2020/PN.Bekasi yang memeriksa dan menangani perkara a qou dalam putusannya, terkesan menunjukkan dan melakukan perbuatan “ Abuse Of Power” (penyalahgunaan kekuasaan, dalam bentuk penyimpangan jabatan atau pelanggaran resmi).”katanya tgl (23/11/2021)
Bahwa adanya “Abuse Of Power” yang menurut hemat kami telah dilakukan oleh Majelis Hakim tersebut sebagai berikut:
Sebelum pemeriksaan pokok perkara a qou dilakukan, upaya mediasi sesuai aturan PERMA Nomor : 01 Tahun 2016 telah terlebih dahulu ditempuh, namun mengalami jalan buntu atau tidak berhasil (deadlock).
Bahwa seiring berjalan pemeriksaan pokok perkara, Majelis Hakim tersebut juga berusaha dan berupaya untuk mendamaikan dengan berbagai cara, namun upaya yang dilakukan tetap gagal dan mengalami kebuntuan;
Bahwa selama pemeriksaan perkara a quo, ?Majelis Hakim tidak profesioanal dan mengabaikan azas peradilan yang baik (azas pemeriksaan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, sebagaimana amanat pasal 2 (dua) ayat 4 (empat) UU RI No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) karena terkesan mengikuti permintaan Tergugat untuk menunda-nunda pemeriksaan saksi Penggugat yang diketahui keberadaannya datang dari luar Bekasi (Pekan Baru, Sumatera).
Bahwa dalam putusannya, Majelis Hakim tersebut terkesan tidak berdasar hukum dan cenderung mengada-ada karena menyebut, gugatan Penggugat premature dan tidak dapat diterima dengan alasan pertimbangan hukum: bahwa Penggugat dan Tergugat adalah orang Batak, dimana menurut adat batak perceraian adalah cacat besar bagi keluarga besar, jadi harus melibatkan lembaga adat batak yang bernama DALIHAN NATOLU untuk menyelesaikan masalahnya;
Bahwa Majelis Hakim telah melanggar asas-asas peradilan hukum perdata yaitu: azas bahwa hakim dalam pemeriksaan perkara perdata haruslah bersifat pasif atau diam artinya bahwa hakim hanya bersifat menunggu pembuktian dari para pihak berperkara yang bertujuan untuk menghindari adanya pertimbangan hukum bersifat subyektif dan harus berdasar bukti dan fakta-fakta di persidangan yang diajukan oleh para pihak. Namun dalam hal ini, majelis hakim tersebut telah melanggar azas tersebut, dimana dalam pertimbangan Hukumnya menyebut bahwa perceraian adalah ULTIMUN REMEDIUM, sehingga gugatan Penggugat disebut premature.
Bahwa Majelis Hakim dalam putusannya tidak berdasar secara hukum dan cenderung mengada-ada. Karena telah mendasarkan putusanya kepada ketentuan atau norma-norma adat batak yaitu DALIHAN NATOLU, bukan berdasar ketentuan UU RI No. 01 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 09 Tahun 1975. Padahal dalam gugatan sudah sangat jelas dan terang menyatakan, gugatan perceraian yang diajukan terhadap Tergugat karena disebabkan tidak terpenuhi lagi tujuan dari perkawinan itu sendiri, sebagaimana amanat undang-undang No.01 Tahun 1974.
Bahwa seandainya quot non benar Penggugat sebelum mengajukan gugatan cerai harus terlebih dahulu melalui lembaga Adat Batak DALIHAN NATOLU seperti pertimbangan hukum Majelis Hakim, Penggugat dan Tergugat tentu harus dinyatakan terlebih dahulu telah sah menikah secara Adat Batak. Namun dalam proses pemeriksaan diperoleh fakta bahwa pernikahan Penggugat dan Tergugat belum diakui secara Adat Batak, oleh karenanya dalil pertimbangannya tidak mencerminkan suatu kepastian hukum bagi para pencari keadilan khususnya untuk orang Batak.
Bahwa majelis hakim dalam pertimbangannya sudah bertentangan dengan undang-undang No.01 Tahun 1974 dan PP No.09 Tahun 1975, dimana dalam ketentuan undang-undang sangat jelas dan terang menyatakan tentang syarat-syarat diajukannya gugatan perceraian. Dalam ketentuan UU RI No. 01 Tahun 1974 maupun PP No. 09 Tahun 1975 tidak ada yang mengharuskan sebelum diajukan gugatan perceraian ke pengadilan harus terlebih dahulu melalui Lembaga Adat Batak DALIHAN NATOLU;
Bahwa seandainya undang-undang mengharuskan sebelum diajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri harus terlebih dahulu melalui Lembaga Adat Batak Dalihan Natolu, kami ingin menanyakan sebagai berikut : Dimana alamat Lembaga Adat Batak Dalihan Natolu tersebut…?, Apa saja yang menjadi kewenanganya…?, Apa yang menjadi dasar hukum berdirinya Lembaga Adat Batak Dalihan Natolu tersebut…?, Dan siapa Ketua dan pengurusnya…?;
Bahwa tindakan Majelis Hakim yang serta merta menjadikan Lembaga Adat Batak Dalihan Natolu sebagai dasar mengadili perkara a quo menunjukkan ketidak profesionalannya dalam memeriksa dan memutus perkara a quo sehingga menimbulkan kegaduhan didalam masyarakat, karena sudah mendasarkan putusannya kepada hukum adat dengan mengesampingkan hukum positif sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai dasar diajukannya gugatan perceraian yaitu UU RI No.01 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan PP No.09 Tahun 1975.
Bahwa dalam penerapan asas ULTIMUN REMEDIUM, majelis hakim tersebut tidak berdasar secara hukum, karena penerapan azas dimaksud hanya dapat dilakukan dalam perkara pidana bukan dalam perkara perdata. Azas-azas hukum dalam perkara pidana dan perkara perdata sudah sangat jelas jauh berbeda, dimana dalam perkara pidana hakim harus aktif guna menggali kebenaran materil sedangkan dalam perkara perdata hakim bersifat menunggu para pihak berperkara dan hanya memutus perkara yang diajukan oleh para pihak secara obyektif sesuai bukti dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan berdasarkan undang-undang yang berlaku atau dengan kata lain hanya kebenaran formil.
Bahwa dengan penerapan azas ULTIMUN REMEDIUM oleh majelis hakim dalam perkara a quo, menunjukkan bahwa majelis hakim telah melakukan perbuatan “Abuse Of Power” dalam pemeriksaan perkara a quo, karena telah memutuskan hal-hal diluar yang telah dituntut oleh para pihak.”tutupnya.
Adapun 3 Nama Majelis Hakim yang dilaporkan Tim Kuasa Hukum, ke Badan Pengawas (Bawas), Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY), berinisial RIK, AR dan RR. (Red)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here