Andre Vincent Wenas,MM,MBA. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.
Jakarta (JBN) – Presiden Gotabaya Rajapaksa melarikan diri, kabarnya ke Maladewa. Pemerintahaannya telah kehilangan wibawa, legitimasinya pun langsung copot lantaran sang presiden kabur. Sri Lanka boleh dibilang dapat predikat Negara Gagal (failed state).
Fenomena gagalnya Sri Lanka sebagai sebuah negara segera saja disambar oposisi di Indonesia, isunya digorang-goreng untuk mendiskreditkan administrasi pemerintahan Presiden Jokowi.
Dari aspek ekonomi makro, Menkeu Sri Mulyani sudah menyampaikan argumennya (juga lewat Stafsus Menkeu Yustinus Prastowo) bahwa kondisi fundamental ekonomi Indonesia jauh lebih baik (artinya juga jauh lebih kuat) dibanding Sri Lanka.
Secara umum perbandingan fundamental ekonomi makronya begini:
Sri Lanka: total PDB Rp 1.269 triliun, jumlah penduduk 21,57 juta jiwa, maka PDB/kapita Rp 56,2 juta. Pertumbuhan ekonomi 3,78%, tingkat inflasi 54,6% (yoy), defisit fiskal 8,8% (PDB). Cadangan devisa Rp 27,5 triliun (44,77% dari utang jatuh tempo 2022), jumlah utang Rp 1.327 triliun (104,6% dari PDB), jumlah utang luar negeri Rp 490 triliun (36,60% dari PDB), depresiasi nilai tukar terhadap USD 44,3%. Peringkat utang S&P: SD (Selective Default), Fitch: RD (Restricted Default). Perkiraan probabilitas resesi (survey Bloomberg) 85,0%.
Lalu Indonesia bagaimana?
Indonesia: total PDB Rp 16.970,8 triliun, jumlah penduduk 279,1 juta jiwa, maka PDB/kapita Rp 62,2 juta. Pertumbuhan ekonomi 3,69%, tingkat inflasi 3,6% (yoy), defisit fiskal 4,85% (PDB). Cadangan devisa Rp 1.946,2 triliun (234% dari utang jatuh tempo 2022), junlah utang Rp 6.908,8 triliun (40,71% dari PDB), jumlah utang luar negeri Rp 2.075,2 triliun (12,22% dari PDB), depresiasi nilai tukar terhadap USD 4,14% (ytd). Peringkat utang S&P: BBB, Fitch: BBB. Perkiraan probabilitas resesi (survey Bloomberg) 3,0%.
Secara fundamental ekonomi makro Indonesia faktanya jauh lebih kuat dibanding Sri Lanka. Lalu bagaimana kalau kita bandingkan dengan 12 indikator dari FragileStatesIndex.org?
Ini organisasi global yang sejak dulu berupaya mengukur kadar kerentanan sebuah negara yang bisa terancam jadi negara gagal (failed state) jika ke-12 indikator ini tidak diurus dengan baik.
Dari laporan mereka per tahun 2022, dari 179 negara, Indonesia berada di urutan ke 100 (dengan total score: 66,6), sedangkan Sri Lanka ada di posisi 56 (total score: 79,3). Kalau score-nya semakin besar artinya semakin buruk (semakin rentan gagal).
Negara yang paling rentan gagal (posisi no.1) adalah Yemen (dengan total score: 111,7. Sedangkan negara yang paling tidak rentan gagal (kuat) adalah Finlandia (total score: 15,1).
FragileStatesIndex mengukur empat aspek (kohesivitas, ekonomi, politik dan sosial) yang dirinci ke dalam 12 indikator. Memakai score 0 sampai 10, semakin besar angkanya maka semakin rentan (buruk).
Terhadap ke-12 indikator yang bisa menyebabkan gagalnya suatu negara ini dilakukan analisa mendalam (kualitatif dan kuantitatif) dengan metodologi yang cukup keras (rigorous). Hasilnya?
A. Indikator Kohesi, yang terdiri dari: 1) Aparat keamanan (security apparatus: Sri Lanka 6,5 vs Indonesia 5,5). 2. Elit yang terpecah-pecah (factionalized elites: SL 9,1 vs Ind 7,1), 3. Keluhan kelompok (group grievance: SL 8,1 vs Ind 6,8).
B. Indikator Ekonomi: 4. Kemunduran ekonomi (economic decline: SL 5,5 vs Ind 4,2), 5. Pembangunan ekonomi yang tidak merata (uneven economic development: SL 5,6 vs Ind 4,5), 6. Pelarian manusia dan brain drain (human flight and brain drain: SL 6,6 vs Ind 6,0).
C. Indikator Politik: 7. Legitimasi Negara (state legitimacy: SL 6 vs Ind 4,5), 8. Pelayanan Publik (public services: SL 6,2 vs Ind 5), 9. Hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum (human rights and rule of law: SL 7,9 vs Ind 6,2).
D. Indikator sosial dan lintas sektoral: 10. Tekanan demografis (demographic pressures: SL 7,3 vs Ind 6,7), 11. Pengungsi dan Pengungsi Internal (refugees and internally displaced persons: SL 6,9 vs Ind 4,3), 12. Intervensi eksternal (external intervention: SL 5,4 vs Ind 4,0).
Lima negara paling rentan gagal adalah: 1. Yemen (score: 111,7), 2. Somalia (110,5), Syria (108,4), Sudan Selatan (108,4), dan Republik Afrika Tengah (108,1)
Lima negara paling tidak rentan gagal adalah: Finlandia (15,1), Norwegia (15,6), Islandia (17,1), Selandia Baru (17,5), dan Denmark (18,1).
Perlu dicatat bahwa score Indonesia terus membaik sejak 2014 (ranking 82, score: 76,8), 2015 (rank 88; score 75), 2016 (rank 86; score 74,9), 2017 (rank 94; score 72,9), 2018 (rank 91; score 72,3), 2019 (rank 93; score 70,3), 2020 (rank 96; score 67,8), 2021 (rank 99; score 67,6).
Dari hasil pemeringkatan itu, nampaknya aspek ekonomi seperti yang disampaikan pihak Kementerian Keuangan memang sangat penting. Inflasi dan nilai tukar terkendali, utang masih dalam kisaran yang wajar, ekonomi masih bertumbuh, dengan pembangunan infrastruktur di berbagai pelosok (jalan, bendungan, bandara, Pelabuhan, wilayah perbatasan, dll) telah “memaksa” (mendorong dengan kuat) aspek pemerataan ekonomi.
Dari segi politik-keamanan, aparat masih dalam satu komando, loyal dan tunduk pada pemerintah yang sah. Walau memang ada faksionalisasi di antara para elit dan sekelompok orang yang mengeluh (grievance), namun rasanya mereka cuma oposan yang dari dulu memang anti-perbaikan dan anti-pemberantasan korupsi.
Seperti pernah disinyalir, banyak pegawai negeri atau aparatur sipil negara yang “kurang suka” dengan pemerintahan Jokowi. Dan kita juga tahu bahwa program pemberantasan bancakan anggaran yang diinisiasi Jokowi memang telah mempersempit ruang leha-leha dan konspirasi untuk membancaki anggaran negara (APBN, APBD, maupun BUMN).
Upaya pengembalian dana para koruptor yang disimpan di Swiss, Singapura, Panama Papers atau Pandora Papers, maupun dalam format aset lainnya masih terus diburu. Termasuk utang obligor BLBI yang proses penyitaan asetnya sedang berlangsung. Ini tentu bikin gerah para pengemplang.
Itu semua membuat kita berpikir, bahwa kelompok-kelompok yang mengeluh (grievance groups) itu adalah “cuma” kelompok sakit hati, para gelandangan politik (istilahnya Gus Dur), para politisi oportunis, obligor BLBI atau para koruptor yang sedang diburu dana hitam mereka oleh Kemenkeu. Tak perlu dirisaukan, malah perlu kita kawal prosesnya.
Akhirnya, yang jelas memang Sri Lanka tak punya Sri Mulyani.

Penulis :  Andre Vincent Wenas,MM,MBA. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here