Jakarta (JBN) – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, DR. H. Abdul Fikri Faqih meminta penundaan pembahasan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) karena sederet proses inisiasi yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah sebagai pengusul belum dilakukan atau masih kurang.
“Misalnya terkait peta jalan pendidikan yang belum jelas, derasnya kritik publik karena minimnya keterlibatan publik, hingga dugaan liar adanya pasal-pasal yang menghapus substansi penting,” urai FIkri di Jakarta, Rabu (31/8/2022).
Menurut politisi PKS ini, awalnya revisi UU Sisdiknas diusulkan oleh DPR, namun kemudian tiba-tiba pemerintah menjadi pengusulnya.
“DPR awalnya menilai UU 20/2003 tentang Sisdiknas mesti ada beberapa penyesuaian karena perkembangan teknologi dan seterusnya, tapi kemudian menjadi inisiatif pemerintah, sehingga kami sifatnya menunggu draft,” imbuh Fikri.
Namun, setelah ada draft pemerintah yang dikirimkan kepada Baleg DPR, Komisi X mengevaluasi beberapa hal yang sebelumnya dibahas oleh panitia kerja (panja) di Komisi X dan menghasilkan beberapa rekomendasi kepada Kemendikbud.
“Misalnya rekomendasi soal peta jalan pendidikan yang dibuat oleh Kemendikbud, faktanya tidak diteruskan, padahal menjadi dasar kita untuk melangkah ke pembahasan revisi UU Sisdiknas,” kata Fikri.
Menurut Fikri, bila peta jalan yang menjadi acuan tidak ada, UU Sisdiknas yang dihasillkan nantinya tidak punya arah dan tujuan yang jelas.
“Apalagi UU Sisdiknas yang baru ini rencananya menggabungkan tiga UU lainnya sehingga menjadi Omnibus (UU Paying) pendidikan, yakni UU 20/2003, UU 14/2005 tentang guru dan dosen, serta UU 12/2012 tentang pendidikan tinggi,” sambungnya.
Selain itu, pembuatan draft RUU Sisdiknas versi pemerintah dinilai minim partisipasi publik, selain juga belum banyak melibatkan pakar dan ahli pendidikan dalam prosesnya.
“Beberapa pihak mengritik substansi RUU Sisdiknas versi pemerintah ini tidak jelas, tidak konkret, menimbulkan berbagai kebingungan dan tanda tanya, bahkan disinyalir seperti dibuat di ruang gelap yang tanpa keterlibatan pakar, cenderung tidak transparan dan terburu-buru,” urai Fikri.
Maka, tidak heran lanjut Fikri, beredar banyak sekali isu-isu liar karena hilangnya beberapa pasal yang memuat substansi penting dalam RUU Sisdiknas versi pemerintah.
“Sebut saja kemarin ramai soal hilangnya kata madrasah, kemudian sekarang soal tunjangan profesi guru yang juga menghilang,” ucapnya.
Hal itu menunjukkan, tidak hanya DPR, tetapi publik secara umum dan masyarakat pendidikan khususnya merasa tidak dilibatkan dalam proses penyusunan UU omnibus ini, sehingga timbul rasa kecurigaan dan resistensi yang tinggi.
“Secara substansi kita harus lebih transparan dan komunikatif lagi, meski saya kira pendidikan ini memang harus banyak terima kritik, kita anggap bagian dari terapi, yang bila kita akomodasi dan itu positif, kita dapat perbaiki sesuai keinginan bersama, karena pendidikan ini amanat konstitusi, bukan visi partai, tetapi visi negara sesuai UUD. (Red/*)