Bogor (JBN) – Menanggapi pencopotan Irjen Pol Nico Afinta dari posisi Kapolda Jatim, terutama dalam kaitannya dengan Tragedi Stadion Kanjuruhan, Ketua IPW (Indonesia Police Watch), Sugeng Teguh Santoso turut angkat bicara.
Sebagai mitra kritis Polri, keberadaan IPW (Indonesia Police Watch) menjadi filter dan sekaligus untuk mengakomodasikan berbagai pengaduan masyarakat tentang penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan lembaga Kepolisian Negara RI.
Sesuai namanya lembaga ini mengambil peran mengawasi kinerja kepolisian. Ia menjadi bagian dari masyarakat yang terlibat dalam pengawasan tersebut. Dan Sugeng pun mempertanyakan apakah pencopotan Kapolda Jawa Timur dan dimutasi menjadi Staf Ahli Bidang Sosial Budaya (Sahlisosbud) Kapolri ini dikaitkan dengan peristiwa Kanjuruhan atau tidak.
Menurutnya, selaku Kapolda Irjen Pol Nico Afinta tidak bisa dimintakan pertanggung jawaban terkait dengan peristiwa Kanjuruhan yang mengarah kepada pemberian sanksi.
“IPW tidak melihat adanya perbuatan dari Nico Afinta yang bisa dinilai sebagai memberikan arahan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar prosedur terkait penggunaan gas air mata,” terangnya.
Namun, apakah ia juga bisa dimintakan pertanggungjawaban terkait dengan pengawasan.
Sugeng Teguh Santoso mengingatkan bahwa saat kejadian anggota Brimob yang dikerahkan dari Polda Jatim maupun sejumlah polres yang ada di sekitar Malang ada dalam status BKO (Bawah Kendali Operasi) Polres Malang.
Sehingga pertanggung jawaban di lapangan ada pada Polres Malang. Apalagi Kapolres Malang menyatakan bahwa beliau tidak melakukan perintah. Bahkan 5 jam sebelumnya taklimatnya jelas tidak melakukan kekerasan.
“Artinya problematikanya disini adalah kesalahan prosedur karena unprofessional conduct (tindakan yang tak professional). Nah ini sedang didalami. Kemudian mereka ditindak secara pidana dan juga kode etik mungkin ada itu yang pertama,” ujarnya.
Kembali ia sebutkan, jadi apakah mutasi tadi tour of duty and tour of area ya mungkin saja. Tetapi tegas Sugeng Teguh Santoso, IPW melihat hal ini sebagai respons Polri atau Kapolri karena tekanan publik.
“Kapolri tidak ingin berpolemik dengan masyarakat Jawa Timur khususnya Malang terkait jatuhnya korban 132 orang. Akhirnya sebagai bentuk merespon permintaan publik, Kapolda yang dimutasi,” sebutnya.
Kemudian terkait keterangan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo yang menyampaikan korban tewas dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022 akibat kekurangan oksigen.
Ketua IPW berpendapat, bahwa mereka mati sesak nafas memang iya. Menurutnya, gas air mata itu adalah alat tidak mengakibatkan kematian.
“Ia pengurai, namun terjadi kesalahan prosedur di sini. Jadi kombinasi sebab akibat dalam hukum pidana namanya teori kausalitas, faktor mana yang saling mempengaruhi sehingga terjadi peristiwa pidana,” terangnya.
Sehingga ia menegaskan adanya dua faktor yang mempengaruhi dalam peristiwa ini. Satu, faktor penembakan gas air mata yang mendorong para korban itu lari ke pintu yang tertutup. Sedangkan faktor yang kedua adalah pintu yang tertutup ini.
“Sehingga kedua hal tadi harus dibedakan. Dalam teori kausaitas conditio sine qua non semua faktor yang mempengaruhi itu akan menjadi faktor yang harus dimintakan pertanggungjawaban,” tambahnya.
Ia menyampaikan, Kapolri telah menetapkan beberapa pihak yang bertanggung jawab. Meliputi, anggota Brimob, Komandan Brimob juga Panpel, petugas penanggung jawab security atau keamanan dan juga dari PT LIB.
Menurut IPW prosesnya sudah on the track dan problem ini menjadi pembelajaran bersama. Sedangkan yang ketiga ini, lanjut Sugeng, kalau semua pihak sudah diminta pertanggungjawaban, kini giliran Ketua Umum PSSI.
Walaupun memang tidak bisa dicopot karena prosesnya harus melalui kongres. Namun, tegas Sugeng Teguh Santoso menyebut, kalau dia punya tanggung jawab moril, harusnya sudah mundur.
“Karena Juni 2022 ada korban Bobotoh di Gelora Bandung Lautan Api yang mati juga. IPW sudah mengingatkan hal dan minta diusut dan ternyata tidak jelas,” ungkapnya.
Sedangkan terkait gas airmata yang kadaluarsa. Ia justru mengaku prihatin dengan institusi Polri. “Artinya mungkin anggarannya kurang,” ucapnya pelan.
Ia kemudian mengaku mendengar bahwa anggaran pengadaan gas air mata tahun 2022 kemarin sebesar Rp160 miliar. Angka tersebut dibagi untuk 34 Kapolda, yang terdiri kurang lebih 400 Polres. Angka tersebut dianggapnya kecil.
“Saya membaca anggaran DKI Jakarta untuk membeli printer saja sebesar Rp 200 miliar. Bolpoint hampir Rp 100 Miliar, entah salah tulis atau tidak. Sementara anggaran Polri untuk gas air mata hanya Rp 106 miliar untuk dibagi kepada seluruh Polda di Indonesia,” tekannya.
Karena kecilnya anggaran ini, menurut Sugeng Teguh Santoso akhirnya barang kadaluarsa dipakai.
“Jadi ada lagi pelanggaran prosedur soal pengelolaan barang. Tapi inilah kondisinya memang memprihatinkan menyangkut anggaran yang ada,” ujar Ketua IPW terkait kinerja polisi dalam Tragedi Stadion Kanjuruhan. (Tim.*)