Oleh:
Abdullah Hehamahua
Depok(JBN) – Menjelang pergantian tahun dari 2022 ke 2023 malam ini, kusampaikan episode terakhir dari artikel bertema: “Tahun 2022, Indonesia Darurat Krisis.” Harapanku, ia menjadi bahan renungan, setidaknya bagi mereka yang berakal dan bernurani (ulul albab) untuk melakukan muhasabah. Evaluasi, bahasa kerennya. Sebab, kata Nabi Muhammad: Beruntung orang yang keadaannya hari ini lebih baik dari kemarin. Rugi orang yang hari ini, sama dengan kemarin. Celaka orang yang hari ini, lebih jelek dari kemarin.
Indonesia tanpa Pimpinan Nasional yang amanah akan menyuburkan korupsi. Wajar jika US News, September 2022 menempatkan Indonesia di urutan 30 dari 85 negara terkorup di dunia. Di Asia Tenggara, Indonesia kalah dari Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Sebab, tahun ini, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia hanya 38. Bahkan, berkurang 3 point dari tahun lalu (Angka 1, Negara terkorup dan 100, Negara terbersih dari Korupsi).
Dampak lanjutannya, penegakkan hukum seakan hanya ilusi. Hal ini dapat dilihat dari mudahnya penangkapan terhadap mereka yang berbeda pendapat dengan Penguasa. Namun, pada waktu yang sama, para buzzer dibiarkan melanglang buana ke mana-mana. Bahkan, pelanggaran hukum tersuper selama 77 tahun Indonesia merdeka adalah kasus pembunuhan brigadir Yosua. Kasus ini merupakan cermin terburuk mengenai penegakkan hukum di Indonesia. Sebab, ia melibatkan institusi kepolisian, bukan oknum polisi. Ini karena, polisi menembak polisi di rumah polisi, direkayasa polisi, dan CCTV hilang atau rusak.
Tujuan Hukum
“Adanya kepastian hukum, tegaknya keadilan, dan manfaat bagi masyarakat umum.” Itulah tujuan hukum. Faktanya, jaksa Pinangki yang merusak nama baik korps adiyaksa, tahun ini mendapat remisi besar-besaran. Dia cepat bebas dari penjara. Padahal, Pinangki terlibat tiga tindak pidana sekaligus: Penyuapan, pencucian uang, dan permufakatan jahat. Semuanya dilakukan dalam rangka melindungi dan menyelamatkan buronan, Djoko Tjandra. Maknanya, kejaksaan dan hakim hanya mau ada kepastian hukum. Namun, tegaknya keadilan, tidak penting. Apalagi, manfaat bagi masyarakat. Ia tak ubahnya pungguk merindukan bulan.
 Pinangki dalam persidangan hanya dituntut hukuman empat tahun penjara oleh JPU. Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara. Tragisnya, Majelis Hakim di tingkat banding, memangkas hukuman Pinangki, menjadi 4 tahun penjara. Alasan Hakim, sangat lebai. Katanya, Pinangki seorang perempuan. Anaknya baru berusia 4 tahun. Olehnya, dia layak diberi kesempatan untuk mengasuh anaknya. Padahal, menurut Ditjen Pas, September 2022, ada 63 napi perempuan yang tinggal bersama bayinya di penjara.
Kasus Pinangki berbeda dengan Angelina Sondakh. Pinangki ditangani Kejaksaan. Angie ditangani KPK. Dia terlibat kasus gratifikasi dalam proyek pembangunan Wisma Atlet. JPU KPK menuntut 12 tahun penjara. Majelis Hakim Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara. KPK banding. Pengadilan Tinggi Jakarta, menguatkan putusan Pengadilan Tipikor. KPK kembali ajukan kasasi. Hakim MA mengabulkan tuntutan JPU KPK. Angie dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. Beliau ajukan PK. Hakim menurunkan hukumannya menjadi 10 tahun penjara. Angie menjalani hukuman hampir 10 tahun penuh. Dia hanya menerima asimilasi selama 3 bulan sebelum masa hukumannya berakhir. Angie sewaktu ditahan, punya anak yang masih berumur 2,5 tahun. Bandingkan dengan jaksa Pinangki yang anaknya sudah berumur 4 tahun. Masyarakat awam bingung. Mungkin beda institusi, lain perilaku.
Pada tahun 2022 ini, dari 56 kasus korupsi yang sampai di meja MA, 38 orang diringankan hukumannya. Itulah sebabnya, dua Hakim Agung ditangkap KPK tahun ini. Mereka, Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh, diduga menerima suap pengaturan vonis kasasi di MA.
Pedang Hukum Tajam ke Bawah
PBB, pada tahun 2017, mengumumkan 10 negara paling bahagia di dunia. Salah satu indikatornya, penegakkan hukum berjalan secara baik. Indonesia urutan ke 88. Sebab, penegakkan hukum, boleh dibilang, tidak berjalan. Pedang hukum tajam ke bawah. Contohnya, tahun ini, Bambang Tri Mulyono dan Gusnur ditahan. Mereka dituduh melakukan ujaran kebencian, penistaan agama, dan melanggar UU ITE. Penyebabnya, Bambang menuduh, ijazah Jokowi, dari SD sampai SMA, palsu.
Gus Nur ditahan karena chanel youtubenya menyiarkan tuduhan Bambang tersebut. Mereka berdua ditahan di penjara bawah tanah di Mabes Polri.
Aneh bin Ajaib. Apakah dengan dipenjarannya Bambang, Gus Nur, dan ribuan Bambang lainnya, persoalan akan selesai.? Katakanlah, Bambang dan Gusnur dipenjara 100 tahun. Mereka meninggal di dalam penjara. Namun, Jokowi kan tidak jadi Presiden seumur hidup. Sekalipun, dengan menguasai tujuh dari sembilan partai di MPR sekarang, UUD 45 dapat diubah agar Jokowi bisa jadi presiden seumur hidup. Sama seperti Soekarno dan Soeharto. Faktanya, kedua presiden itu dilengserkan mahasiswa. Maknanya, sewaktu Jokowi sudah tidak jadi presiden pada tahun 2045 misalnya, anak cucu Bambang dan Gusnur akan menuntut keadilan. Pada waktu itu, berlaku adagium para filsuf: “anda dapat membohongi seseorang seumur hidup. Anda juga dapat membohongi semua orang untuk beberapa waktu. Namun, anda tidak bisa membohongi semua orang sepanjang masa.”
Penegak Hukum, baik polisi, jaksa, hakim, maupun advokad, berpikirlah cerdas malam ini. Sebelum matahari 1 Januari 2023 terbit. Tegakkan kebenaran sesuai tujuan hukum: “adanya kepastian hukum, tegaknya keadilan, dan manfaat bagi masyarakat.” Bagaimana kiatnya.? Sederhanya.! Para filsuf berkata: “jika ada kemauan, di situ ada jalan.”
Saranku sederhana: Beberapa ijazah SD, SMP, SMA, dan Fakultas Kehutanan UGM yang diketahui pernah dimasuki Jokowi, diperiksa di laboratorium. Periksa jenis kertasnya. Dapat diketahui usia kertas yang digunakan untuk ijazah tersebut. Jika usia kertas hanya beberapa tahun, apalagi cuma bulanan, berarti Jokowi berdusta. Teliti tinta yang digunakan, juga di laboratorium. Teropong tanda tangan yang ada di ijazah SD, SMP, SMA, dan UGM yang dimiliki Jokowi. In syaa Allah, dapat diketahui, ijazahnya asli atau palsu. Hal yang sama dilakukan juga terhadap keturunan Jokowi. Periksa saja DNA Jokowi dengan mereka yang dianggap keluarganya. Mudah kan ?
Tahun 2022 ini, ada ustadz dan aktivis yang langsung dikriminalisasi hanya karena berbeda pendapat dengan Penguasa. Namun, sewaktu hal yang sama dilakukan pejabat, politisi, ustadz, atau aktivis pendukung rezim, mereka dibiarkan bebas.
Menko LBP misalnya. Beliau menghina KPK. Padahal, Jokowi sendiri minta agar korupsi diberantas habis. Ketua KPU dilaporkan ke Bawaslu, DKPP, dan ke Bareskrim karena dugaan gratifikasi seks, adem-adem saja. Ada pengakuan KPUD bahwa, mereka diminta untuk mengubah hasil verifikasi parpol, dibiarkan saja.
 Faktanya, KPU dalam pengumumannya tanggal 14 Desember, Partai Umat dinyatakan tidak lolos sebagai Peserta Pemilu 2024. Partai Umat melawan. Hasilnya, partai ini dinyatakan lolos verifikasi administrasi dan faktual. Ia menjadi peserta Pemilu dengan nomor urut 24. Inilah fakta telanjang bahwa, ada kecurangan dan manipulasi di KPU dan KPUD. Jadi, jika pimpinan dan anggota KPU tidak dikocok ulang, itulah bukti, pedang hukum hanya tajam ke bawah. Jika proses pendaftaran parpol di KPU tidak diulang dari awal, bukti telanjang bahwa, pedang hukum, tumpul ke atas. Semoga.
Depok, 31 Desember 2022.(Red)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here